Dalam memilih
pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki hak
untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Maka dari itu harus
benar-benar diperhitungkan ketika memilih pasangan yang baik. Bila ingin
pintar, seseorang harus rajin belajar, bila ingin kaya seseorang harus
berhemat, begitu pula tentang pasangan hidup. Bila menginginkan pasangan hidup
yang baik maka kita juga harus baik.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang
dapat dengan mudah kita peroleh tanpa adanya pengorbanan. Segala sesuatu ada
harga-nya termasuk bila ingin mendapatkan pasangan hidup yang baik. Ya, dimulai
dari diri sendiri. Bila kita bercita-cita untuk mendapatkan pasangan hidup yang
baik, maka kita sendiri harus baik. Percayalah, Tuhan telah memasangkan manusia
sesuai dengan karakter dan derajat mereka masing-masing. Manusia yang baik
hanyalah untuk manusia yang baik pula, begitu pula sebaliknya.
Julianto Simanjuntak dalam bukunya,
menekankan bahwa dalam memilih pasangan harus ada kesepadanan alias
kecocokan. Karena ketika pada awal-awal berpacaran, kita sering lupa mengenali
kepribadian dan latar belakang pasangan. Jadi, cinta itu bukan hanya sekedar
mencintai atau dicintai. Tapi juga dituntut memahami latar belakang dan
kepribadian pasangan anda dengan sepenuhi hati.
B. Hubungan Dalam Perkawinan
Dawn J.
Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship
educator and coach, mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam
kehidupan perkawinan, yaitu :
1. Tahap
pertama : Romantic Love
Tahap
ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu.
Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini
selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
2. Tahap
kedua : Dissapointment or Distress
Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri
kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan,
berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari
pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang
memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke
pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan
masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke
situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.
Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya.
3. Tahap
ketiga : Knowledge and Awareness
Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai
pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya.
Pasangan ini juga sibuk menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan
pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini
biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada
pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi
perkawinan.
4. Tahap
keempat: Transformation
Suami
istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku yang berkenan di hati
pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi
pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang
menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi.
Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan
ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
5. Tahap
kelima: Real Love
Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang
dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan
perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih
pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk
Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real
love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,”
ingat Dawn.
Hubungan
dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya.
Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara
mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti. Bisa jadi
antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda
saat menghadapi dan melalui tahapannya.
C. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan
Hirning dan
Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks
dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan
satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik
mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas
intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka
harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan,
nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus
menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan Lasswell (1987)
mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa dua individu
belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan
mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling
menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling
mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan. Banyak faktor sosial dan
demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan
(Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan
:
a. Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa
penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat
muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka
dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan
rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa
dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi
romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan
tersebut. Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu
meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi
pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer,
1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak
memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson
& Nelson, dalam Dyer, 1983).
b. Agama
Hubungan
antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun.
Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak
konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama
dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada
penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer,
1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan
Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut.
c. Ras
Sejauh
ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar
ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa
perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit
yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang
dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada
perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan
putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga
menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih
memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata
perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih. Dimana perbedaan sosial dan
kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat,
mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk
menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
d. Pendidikan
Data
dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor
yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983)
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan
dengan kebahagiaan perkawinan. Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada
pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada
pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama
akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga
mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami
istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer,
1983).
e. Keluarga
Pasangan
Salah
satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana
mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah
menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan
bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky,
dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam
ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan
biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.
D. Perceraian dan Pernikahan Kembali
Menikah Kembali
setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil.
Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam
perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah
yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin
pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat
mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang
mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang
baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode
tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk
lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew
Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang
akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional,
anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan
menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan
kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan
co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas
Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan
kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat
penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan
keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk
orang tua dan orang tua tiri. Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi
kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih
baik lagi dari pernikahan sebelumnya.
E. Alternatif selain Pernikahan
Batasan usia
untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan
meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk
menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah
pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup
melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah
tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama
menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak
pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu
kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan
cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan
pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan
hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan,
sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang
lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu
yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah. Melajang adalah sebuah sebuah
pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan
mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang
telah cocok di hati.
Sumber:
Julianto,Simanjuntak.2012. Banyak
Cocok Sedikit Cekcok, Seni Memilih Teman Hidup dan Berpacaran Dewasa.Jakarta:Yayasan
Peduli Konseling Nusantara (PELIKAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar